Wednesday 19 December 2012

DARI HOBBY HINGGA CITA-CITA. APA CITA-CITAMU SEBENARNYA?

It's Me
Saat ditanya ingin jadi apa kau nanti, jawabanku selalu beragam. Hal itu dikarenakan banyaknya aspek yang saya pertimbangkan. Kalau dari sudut pendidikan, tentu aku ingin menjadi seorang network designer yang handal. Cita-cita itu terbesit saat saya masih mengecap pendidikan di pondok pesantren. Keingintahuan saya akan dunia IT pun mengantarkan saya terbang ke Politeknik Telkom Bandung untun mendalami ilmu IT. Perkiraan saya, ilmu IT itu mudah dipelajari. Namun, pada kenyataannya tidak. Banyak hal-hal baru yang saya dapatkan dan saya rasa itu tidak akan saya dapatkan kalau saya kuliah di kampus non-IT. Meskipun awalnya merasa kesulitan beradaptasi, tapi saya yakin cita-cita saya bisa tercapai. Setidaknya saya bisa jadi seorang programmer jika gagal menjadi seorang network designer.

Itu kalau dari sudut pendidikan. Kalau dilihat dari hobby, cita-citaku bisa lebih meluas lagi. Setidaknya ada tiga hobby yang paling saya senangi, yaitu fotografi, jurnalis dan menyanyi.Kalaulah hobby bisa melahirkan cita-cita, berarti ada tiga cita-cita yang bisa tercapai dari hobby ini? Mari kita telusuri satu-persatu.

Fotografi. Bisa dibilang ini hobby lama yang bersemi kembali. Dulu saya pernah tertarik pada dunia fotografi saat duduk di kelas 4 KMI pondok pesantren. Kebetulan saat itu saya juga aktif di dunia jurnalistik. Dengan modal kamera pocket, saya coba untuk belajar fotografi. Tentu hasilnya kurang maksimal. Oleh karenanya saya tinggalkan fotografi dan fokus di jurnalistik. Nah, setelah masuk ke dunia perkuliahan, hobby itu kembali naik karena seringnya saya berada di kepanitiaan yang membidangi publikasi dan dokumentasi. Tapi kalau dipikir-pikir, ini takkan jadi proiritas utama saya.

Jurnalistik. Ini yang saya tekuni sejak saya pondok pesantren. Kalau ditanya pengalaman, saya punya cukup banyak pengalaman di bidang ini. Saya dan dua rekan saya, Handika dan Dimas, menjadi pencetus peliputan  berita yang berskala provinsi. Dimulai dari peliputan berita di jambore santri se-Sumatera Utara di Sibolangit hingga akhirnya bisa meliput di Pekan Olahraga dan Seni Pondok Pesantren se-Sumatera Utara di Pandan, Tapanuli Tengah. Karena keberhasilan ini juga kami berhasil mengutus dua kru kami untuk meliput Pekan Olahraga dan Seni Pondok Pesantren Nasional di Surabaya. Tapi, semangat jurnalis itu hilang saat aku memasuki dunia perkuliahan. Entah mengapa saya juga bingung. Untungnya saya masih punya blog ini. Jadi saya masih bisa menyalurkan hobi corat-coret saya.



Thursday 18 October 2012

Ungu - Cinta Dalam Hati

bagiku musik bukan sekedar hiburan belaka. Namun, musik sudah seperti menjadi bagian dari hidupku. Bahkan, tak jarang lagu bisa mewakilkan isi hatiku. Mungkin lagu yang saya posting ini adalah ungkapan dari apa yang sedang aku rasakan saat ini :D

Mungkin ini memang jalan takdirku
Mengagumi tanpa di cintai
Tak mengapa bagiku asal kau pun bahagia
Dengan hidupmu, dengan hidupmu
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Telah lama kupendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyambut diriku
Tak mengapa bagiku cintaimu pun adalah
Bahagia untukku, bahagia untukku

Reff:
Ku ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu
Meski ku tunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya
Dan ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja
Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya
Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejab saja

Repeat reff

Sunday 6 May 2012

Profesionalisme dalam Menulis itu Perlu!


Malam ini, tanpa disengaja saya mengingat suatu kejadian yang sangat membekas di ingatan saya sampai saat ini. Suatu kejadian yang saya sendiri tidak mengira bakal terjadi. Cerita ini menyangkut hobi saya di pesantren(jurnalis). Melalui tulisan ini, mungkin saya bisa sedikit berbagi dengan teman-teman semua sekaligus mengingatkan akan pentingnya profesionalisme dalam penulisan sebuah berita.

Di suatu siang, seperti biasa saya melakukan aktifitas saya di Raudhah Pos, mencari berita dan menerbitkannya di mading. Kebetulan waktu itu kami tinggal membutuhkan satu topik berita lagi. Saya yang saat itu menjadi penanggung jawab dalam pencarian topik utama hampir frustasi karena tak kunjung mendapatkan topik yang benar-benar hangat. Bahkan, hingga selesai ashar pun saya belum juga mendapatkannya.

Entah mengapa, setelah sholat ashar, saya yang saat itu sedang menuju kantor Raudhah Pos melintasi etalase yang biasa kami gunakan untuk mempublikasikan karya-karya tulis yang kami buat. Kebetulan etalase kami bersebelahan dengan etalase AMAR, salah satu grup yang bergerak di bidang tulis menulis dan seni. Saya yang saat itu sedang memegang kamera secara spontan mengambil foto etalase AMAR yang pada saat itu sedang kosong. Selepas mengambil foto saya langsung menuju ruangan kerja dan mulai membuat berita melalui gambaryang barusan saya ambil. Saya benar-benar bingung apa yang sebenarnya ada di pikiran saya saat itu.

Setelah pengeditan, akhirnya "koran raksasa" pun selesai dan siap untuk dipublikasikan. Saat itu tidak ada sedikitpun keraguan dalam diri saya saat menempelkan koran itu di etalase kami. Namun, belum sampai satu jam, saya mendapatkan sedikit masalah. Para kru dari AMAR yang saat itu juga akan mempublikasikan karya mereka terkejut dengan berita yang kami(Raudhah Pos) terbitkan. Permasalahannya terdapat pada sebuah judul berita yang mungkin anda juga pasti marah jika anda melihatnya walaupun anda bukan termasuk bagian dari AMAR. Tulisan "AMAR, how are you?" di judul berita yang saya buat telah membuat hampir seluruh kru AMAR yang melihatnya emosi. Saya pun tampaknya tidak bisa diam dengan hal ini.

Setelah suasana tampak sepi, saya pun bergegas menuju etalase dan langsung mencabut "koran raksasa" yang kontroversial itu. Namun, ternyata sebagian kru AMAR yang tak lain teman seangkatan saya telah membuat rencana untuk melabrak saya. Malam itu saya berusaha untuk tenang dan tidak terlalu mengambil pusing. Akan tetapi, keesokan harinya salah seorang kru AMAR yang juga teman saya datang melabrak saya langsung ke kamar saya. Sungguh saat itu saya tidak mampu berkata apapun karena saya memang berada di posisi yang salah. Pasca kejadian itu, saya pun segera meminta maaf secara langsung kepadanya dan kepada pimpinan redaksi AMAR. Saya juga meminta maaf langsung kepada sebagian kru AMAR.

Di sini saya mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Profesionalisme dalam menulis sangat dibutuhkan, khususnya dalam penulisan sebuah berita. Profesionalisme itu juga termasuk dalam attitude dalam penentuan bahasa yang digunakan. Kejadian di atas menunjukkan bahwa profesionalisme menulis tidak terlihat karena saat itu saya juga berada dalam tahap belajar. Profesionalisme ini juga harus benar-benar diperhatikan agar pihak-pihak yang terkait dalam berita yang kita buat tidak tersinggung. 

Satu hal yang juga saya ingat, setelah melakukan kesalahan yang tergolong fatal itu, saya sempat berhenti menulis. Namun, perlahan saya mulai sadar kalau kesalahan merupakan bagian dari pembelajaran. Itulah yang membuat saya kembali bersemangat untuk menulis dan terus menulis lagi. Tentunya dengan memperhatikan profesionalisme dalam menulis. 


Tuesday 7 February 2012

Kau dan Hartamu Milik Ayahmu




Jabir r.a menceritakan ada laki-laki yang datang menemui Nabi SAW dan melapor. Dia berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku ingin mengambil hartaku ” “Pergilah kau membawa ayahmu kesini” perintah Beliau saw.

Bersamaan dengan itu Malaikat Jibril turun menyampaikan salam dan pesan Allah kepada Beliau. Jibril berkata: “Ya, Muhammad, Allah ‘Azza wa Jalla mengucapkan salam kepadamu, dan berpesan kepadamu, kalau orangtua itu datang, engkau harus menanyakan apa-apa yang dikatakan dalam hatinya dan tidak didengarkan oleh teliganya.” Ketika orangtua itu tiba, maka Nabi pun bertanya kepadanya: “Mengapa anakmu mengadukanmu? Apakah benar engkau ingin mengambil uangnya?” Lelaki tua itu menjawab: “Tanyakan saja kepadanya, ya Rasulullah, bukankah saya menafkahkan uang itu untuk beberapa orang ammati (saudara ayahnya) atau khalati (saudara ibu) nya, atau untuk keperluan saya sendiri ?” Rasulullah bersabda lagi: “Lupakanlah hal itu. Sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang engkau katakan di dalam hatimu dan tak pernah didengar oleh telingamu !” Maka wajah keriput lelaki itu tiba-tiba menjadi cerah dan tampak bahagia, dia berkata: “Demi Alloh, ya Rasulullah, dengan ini Allah SWT berkenan menambah kuat keimananku dengan ke-Rasulanmu. Memang saya pernah mengatakan sesuatu dalam diriku yang mana  kedua telingaku tak pernah mendengarnya …” Nabi mendesak: “Katakanlah, aku ingin mendengarnya.” Orang tua itu berkata dengan sedih dan air mata yang berlinang: “Saya mengatakan kepadanya kata-kata ini: 

‘Aku mengasuhmu sejak bayi dan memeliharamu waktu muda. Semua hasil jerih-payahku kau minum dan kau reguk puas.
Bila kau sakit di malam hari, hatiku gundah dan gelisah lantaran sakit dan deritamu, aku tak bisa tidur dan resah, bagai akulah yang sakit, bukan kau yang menderita. 
Lalu airmataku berlinang-linang dan meluncur deras. Hatiku takut engkau disambar maut, padahal aku tahu ajal pasti akan datang.
Setelah engkau dewasa, dan mencapai apa yang kau cita-citakan, kau balas aku dengan kekerasan, kekasaran dan kekejaman, seolah kaulah pemberi kenikmatan dan keutamaan.
Sekiranya kau tak mampu penuhi hak ayahmu, kau perlakukanlah daku seperti tetangga dekatmu.
Engkau selalu menganggap kesalahan(ku), seolah-olah kebenaran selalu menempel di dirimu

Selanjutnya Jabir r.a berkata: “Pada saat itu Nabi langsung memegangi ujung baju pada leher anak itu seraya berkata: “Engkau dan hartamu milik ayahmu!”(HR. At-Thabarani dalam al Mu’jamu As Saghir dan al Mu’jamu Al-Ausath).