Sunday 6 May 2012

Profesionalisme dalam Menulis itu Perlu!


Malam ini, tanpa disengaja saya mengingat suatu kejadian yang sangat membekas di ingatan saya sampai saat ini. Suatu kejadian yang saya sendiri tidak mengira bakal terjadi. Cerita ini menyangkut hobi saya di pesantren(jurnalis). Melalui tulisan ini, mungkin saya bisa sedikit berbagi dengan teman-teman semua sekaligus mengingatkan akan pentingnya profesionalisme dalam penulisan sebuah berita.

Di suatu siang, seperti biasa saya melakukan aktifitas saya di Raudhah Pos, mencari berita dan menerbitkannya di mading. Kebetulan waktu itu kami tinggal membutuhkan satu topik berita lagi. Saya yang saat itu menjadi penanggung jawab dalam pencarian topik utama hampir frustasi karena tak kunjung mendapatkan topik yang benar-benar hangat. Bahkan, hingga selesai ashar pun saya belum juga mendapatkannya.

Entah mengapa, setelah sholat ashar, saya yang saat itu sedang menuju kantor Raudhah Pos melintasi etalase yang biasa kami gunakan untuk mempublikasikan karya-karya tulis yang kami buat. Kebetulan etalase kami bersebelahan dengan etalase AMAR, salah satu grup yang bergerak di bidang tulis menulis dan seni. Saya yang saat itu sedang memegang kamera secara spontan mengambil foto etalase AMAR yang pada saat itu sedang kosong. Selepas mengambil foto saya langsung menuju ruangan kerja dan mulai membuat berita melalui gambaryang barusan saya ambil. Saya benar-benar bingung apa yang sebenarnya ada di pikiran saya saat itu.

Setelah pengeditan, akhirnya "koran raksasa" pun selesai dan siap untuk dipublikasikan. Saat itu tidak ada sedikitpun keraguan dalam diri saya saat menempelkan koran itu di etalase kami. Namun, belum sampai satu jam, saya mendapatkan sedikit masalah. Para kru dari AMAR yang saat itu juga akan mempublikasikan karya mereka terkejut dengan berita yang kami(Raudhah Pos) terbitkan. Permasalahannya terdapat pada sebuah judul berita yang mungkin anda juga pasti marah jika anda melihatnya walaupun anda bukan termasuk bagian dari AMAR. Tulisan "AMAR, how are you?" di judul berita yang saya buat telah membuat hampir seluruh kru AMAR yang melihatnya emosi. Saya pun tampaknya tidak bisa diam dengan hal ini.

Setelah suasana tampak sepi, saya pun bergegas menuju etalase dan langsung mencabut "koran raksasa" yang kontroversial itu. Namun, ternyata sebagian kru AMAR yang tak lain teman seangkatan saya telah membuat rencana untuk melabrak saya. Malam itu saya berusaha untuk tenang dan tidak terlalu mengambil pusing. Akan tetapi, keesokan harinya salah seorang kru AMAR yang juga teman saya datang melabrak saya langsung ke kamar saya. Sungguh saat itu saya tidak mampu berkata apapun karena saya memang berada di posisi yang salah. Pasca kejadian itu, saya pun segera meminta maaf secara langsung kepadanya dan kepada pimpinan redaksi AMAR. Saya juga meminta maaf langsung kepada sebagian kru AMAR.

Di sini saya mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Profesionalisme dalam menulis sangat dibutuhkan, khususnya dalam penulisan sebuah berita. Profesionalisme itu juga termasuk dalam attitude dalam penentuan bahasa yang digunakan. Kejadian di atas menunjukkan bahwa profesionalisme menulis tidak terlihat karena saat itu saya juga berada dalam tahap belajar. Profesionalisme ini juga harus benar-benar diperhatikan agar pihak-pihak yang terkait dalam berita yang kita buat tidak tersinggung. 

Satu hal yang juga saya ingat, setelah melakukan kesalahan yang tergolong fatal itu, saya sempat berhenti menulis. Namun, perlahan saya mulai sadar kalau kesalahan merupakan bagian dari pembelajaran. Itulah yang membuat saya kembali bersemangat untuk menulis dan terus menulis lagi. Tentunya dengan memperhatikan profesionalisme dalam menulis.